08 August 2010

INDONESIA vs. GUATEMALA?

Indonesia mesti kagum dengan keberhasilan Guatemala mengelola hutan secara lestari dan berbasis masyarakat. Di wilayah Peten, utara Guatemala, antara tahun 1960 sampai 1980 hutan-hutan di sana terancam oleh eksploitasi mahoni besar-besaran oleh 13 HPH dan para illegal logger. Kini hutan-hutan ini menjadi contoh terbaik pengelolaan hutan lestari, bahkan per tahun 2004, 14 unit community logging atau konsesi masyarakat dan dua perusahaan industri kehutanan dengan luas total 511.611 hektar sudah memperoleh sertifikat internasional dari FSC (Forest Stewardship Council). Ini bukan saja mengindikasikan pengelolaan hutan yang baik secara ekologis, namun juga menunjukkan betapa hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat dipenuhi dengan selayaknya. Total luasan hutan Guatemala hanya 3,9 juta hektar. Ini berarti lebih dari sepersepuluh luas wilayah hutan di negara ini telah tersertifikasi.
Guatemala telah mencapai skor yang sangat baik dalam perlombaan menuju pengelolaan hutan yang adil dan lestari. Dari seluruh luasan kawasan hutan yang telah disertifikasi tersebut, 380.334 hektar di antaranya adalah kawasan community logging dengan luas wilayah kelola yang bervariasi dari 4 ribu hektar hingga lebih dari 83 ribu hektar. Kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan tersebut juga mendirikan perusahaan-perusahaan milik bersama untuk menangani perdagangan dan jasa-jasa teknis, seperti 8 usaha penggergajian. Mereka menikmati pendapatan tahunan sekitar 1 juta dolar, dan pendapatan harian setiap anggota koperasi pengelola hutan adalah antara 4 dolar sampai 7 dolar. Walau siklus pemanenan kayu adalah 25-40 tahun, namun masyarakat lokal juga mendapatkan penghasilan lain dari pengusahaan berbagai hasil hutan non-kayu. Sebagian dari keuntungan koperasi-koperasi pengelola hutan tersebut telah diinvestasikan dalam bentuk pendirian sekolah-sekolah, fasilitas-fasilitas pengolah air minum, dan pengembangan industri perkayuan untuk meningkatkan nilai tambah.
Berbagai laporan menyatakan bahwa kawasan-kawasan community logging tersebut jauh lebih lestari dan aman dibandingkan bahkan kawasan konservasi taman nasional, di Guatemala. Citra satelit terakhir menunjukkan bahwa hanya 3% dari kawasan konsesi hutan masyarakat yang mengalami kebakaran hutan, jauh lebih rendah dibandingkan 22% di kawasan konservasi dan taman nasional.
Indonesia Kalah Jauh.
Indonesia dikarunia hutan yang jauh lebih luas dibandingkan Guatemala. Tak ada data konsisten tentang luas hutan ini. Namun Forest Watch Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 2002 kita memiliki kawasan yang tertutup hutan seluas 105 juta hektar, Namun di hutan ini illegal logging merajalela. Data Telapak dan EIA (dua lembaga pemantau illegal logging) pada tahun 2006, illegal logging di Indonesia telah merugikan negara sebesar paling sedikit 40 trilyun tiap tahun hanya dari hilangnya pajak saja! Dan hutan yang musnah mencapai 2,8 juta hektar tiap tahun. Sejauh ini baru ada dua community logging yang telah memperoleh sertifikasi ekolabel. Koperasi Hutan Jaya Lestari di Sulawesi Tenggara memperoleh sertifikat FSC, dan masyarakat Desa Selopuro dan Desa Sumber Rejo di Wonogiri memperoleh sertifikat dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Total luas hutan dari keduanya adalah sekitar 1.200 hektar.

Di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Koperasi Hutan Jaya Lestari memiliki anggota lebih dari 8.300 kepala keluarga Koperasi ini mengelola seluruh rangkaian pengelolaan hutan yang meliputi survei potensi, menentukan jatah tebangan, mengatur pemanenan dan penanaman kembali, memastikan lacak balak, menyiapkan perijinan dan pembayaran pajak kepada pemerintah dan desa, memfasilitasi mekanisme penyelesaian konflik, dan melakukan perdagangan kayu. Sertifikat dari FSC diperoleh di awal tahun 2005. Berkat community logging yang lestari ini, harga kayu di tingkat masyarakat meningkat dari sekitar Rp 400.000/meter kubik menjadi sekitar Rp 5.000.000/meter kubik. Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan memperoleh pendapatan asli daerah baru dari usaha ini sekitar Rp 62.000.000 per tiga bulan. Produksi kayu jati dari koperasi ini saat ini adalah sekitar 36 meter kubik per bulan.

Indonesia yang memiliki hutan dan penduduk berpuluh kali lipat lebih luas dari Guatemala , dan dukungan dana dari lembaga donor berpuluh kali lipat, sudah selayaknya mencapai prestasi yang berpuluh kali lipat pula dalam upaya membangun pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan sosial.

Agar Indonesia mampu mengejar ketinggalan dari Guatemala, ada tiga keutamaan yang harus dimiliki, yaitu

(1) syarat utama: kepastian hak kepemilikan dan pengelolaan oleh masyarakat. Pengelolaan hutan yang lestari berbasiskan masyarakat, dimana pemerintah memberikan pengakuan dan hak-hak pengelolaan atau hak kepemilikan kawasan hutan kepada masyarakat setempat, baik secara kolektif maupun perorangan adalah jalan ampuh untuk mengurangi kemiskinan. Dalam hal ini hutan betul-betul menjadi aset milik masyarakat. Bayangkan bahwa apabila ada kepastian kepemilikan aset ini, maka aset tersebut tentu akan langsung menyumbang kepada kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memberi mereka peluang untuk keluar dari kemiskinan (sebagaimana dikatakan bahkan juga oleh Bank Dunia di tahun 2000). Lebih jauh lagi, ternyata pengakuan hak kepemilikan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah sudah seharusnya dan sewajarnya. Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Departemen Kehutanan sebetulnya tidak memiliki landasan hukum atau sejarah untuk menguasai sekitar 120 juta hektar kawasan hutan atau 62% dari seluruh luas daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia (data Departemen Kehutanan di tahun 2002). Idealnya mungkin hanya 33 juta hektar saja yang perlu dikuasai oleh Departemen Kehutanan.

(2) infrastruktur utama: koperasi dan berbagai institusi adat sebagai infrastruktur sosial dan ekonomi untuk pengusahaan hutan yang lestari dan adil. Koperasi adalah sokoguru perekonomian Indonesia, demikian kesepakatan para pendiri bangsa ini. Koperasi adalah kumpulan manusia, bukan kumpulan modal. Program yang paling penting bagi koperasi adalah pendidikan anggota-anggotanya. Artinya jelas lah bahwa untuk mencapai cita-cita pengelolaan hutan yang lestari dan adil maka infrastruktur yang harus dibangun adalah koperasi. Trik ini sudah dipahami betul oleh Guatemala, juga oleh masyarakat di 46 desa di Konawe Selatan yang berhasil memperoleh sertifikat FSC.

(3) rejim utama: community logging sebagai rejim mainstream pengusahaan hutan, alih-alih yang selama ini dikenal yaitu HPH dan HTI. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebagai sebuah sistem pengusahaan hutan berskala besar mulai beroperasi di Indonesia pada awal tahun 1970an. Sejak saat itu pula dimulailah periode perusakan besar-besaran atas hutan Indonesia. Pemerintah saat itu membagi-bagikan konsesi hutan kepada segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa dan militer. Jelaslah bahwa kebijakan pembangunan kehutanan dikontrol oleh kepentingan-kepentingan balas jasa politik dan rente ekonomi, bukan berdasarkan pada suatu kepentingan strategis untuk mengembangkan industri kehutanan di Indonesia. Menjadikan community logging sebagai mainstream berarti bahwa kesejahteraan masyarakat lokal, pelestarian hutan, dan keberlanjutan industri kehutanan lah yang menjadi kepentingan utama kebijakan pembangunan kehutanan tersebut. HPH juga gagal karena konsesi HPH diberikan tanpa aturan pengelolaan hutan yang memadai, tanpa data yang akurat tentang kondisi ekologis maupun sosial budaya masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, dan karena Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengurusi kehutanan tidak pernah memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan pengawasan dan pembinaan. Dengan community logging maka masyarakat setempat lah yang berkuasa atas pengusahaan hutan, berlandaskan pada basis pengetahuan, pengalaman, dan berbagai aturan lokal yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam skenario ini maka yang melakukan fungsi-fungsi pengawasan dan pembinaan adalah pemerintahan desa atau kabupaten, yang lebih dekat dan terlibat langsung dalam dinamika sehari-hari pengelolaan hutan di daerahnya.Meskipun skala keberhasilan yang ditunjukkan berbeda. Indonesia dan Guatemala sama-sama mampu membuktikan bahwa community logging yang lestari dan berbasis masyarakat adalah pilihan terbaik untuk mengelola dan memanfaatkan hutan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kelestarian alam. Skor Guatemala saat ini: 380.334 hektar , sedangkan Skor Indonesia hanya: 1.200 hektar. Mampukah Indonesia berlomba menebus ketertinggalan ini? Beranikan pemerintah mempercayai kemampuan masyarakatnya dan mengakui hak-hak mereka? KABINET INDONESIA BERSATU MARI KITA BERLOMBA DENGAN GUATEMALA!

No comments: