08 August 2010

Bukan Indonesia Incorporated!

Tapi mestinya Indonesia in-cooperatives. Bukan Indonesia Inc. tetapi Indonesia In-coop. Indonesia yang berkoperasi, bukan Indonesia yang berlagak sebagai atau bahkan dikendalikan oleh korporasi! Setelah lama tak terdengar, rupanya ide Indonesia Inc. ini diangkat kembali oleh Presiden SBY dalam kaitannya dengan perjalanan ke Amerika Serikat akhir-akhir ini. Berita harian ini menyebutkan, “…Presiden mengharapkan perjalanannya dengan sejumlah delegasi, yang disebutnya sebagai Indonesia Incorporated itu, tidak sia-sia (Perubahan Iklim; Indonesia Harus Memiliki Posisi Tawar yang Lebih Baik dalam Harian Kompas, Selasa 25 September 2007). Apakah makna pernyataan Presiden RI itu? Apa pula pesan yang ingin disampaikan dalam berita Kompas itu? Apakah dimaksudkan bahwa agar memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam percaturan global tentang perubahan iklim maka Indonesia harus bertindak sebagai sebuah korporasi besar, atau mengakomodasi dan menggantungkan diri kepada korporasi-korporasi besar?
Jangan-jangan yang dimaksudkan adalah seperti judul buku yang ditulis Tanri Abeng, MBA, mantan Menteri Negara BUMN, terbit tahun 2001: “Indonesia Inc: Privatising State Owned Enterprises”. Kalau itu yang dibayangkan, maka dengan demikian dimaksudkan bahwa Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih baik apabila fungsi-fungsi pelayanan publik, kepentingan umum, dan kepentingan strategis negara dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta – korporasi besar. Berarti pula bahwa bukan Negara Indonesia yang akan dan perlu memiliki posisi tawar yang kuat dalam percaturan global, tetapi korporasi-korporasi itu?

Korporasi, dari kata Bahasa Inggris Corporation, menurut Kamus Online Wikipedia, adalah bentuk yang paling umum untuk sebuah organisasi bisnis, dimana kepadanya negara memberikan status badan hukum dan berbagai hak legal sebagai sebuah entitas yang terpisah dari para pemiliknya. Tapi kita seyogyanya ingat kata-kata yang menohok dari Lord Thurlow (1731-1806) yang seringkali dikutip, termasuk dalam film ”The Corporations” (Joel Bakan, 2003), bahwa ”corporations have neither bodies to be punished, nor souls to be condemned; they therefore do as they like” (korporasi-korporasi tidak punya tubuh untuk dihukum, atau jiwa untuk dikutuk; mereka bertindak sekehendaknya). Kemudian Ambrose Bierce (1842-1913) dalam the Devil’s Dictionary mendefinisikan korporasi sebagai sebuah alat yang sangat cerdas dan orisinil untuk menggalang keuntungan individual tanpa harus bertanggung jawab secara individual.

Harapan penguatan posisi tawar Indonesia sebagaimana maksud Presiden Indonesia dan upaya mondial untuk penanganan perubahan iklim tentu saja tidak bisa digantungkan kepada korporasi-korporasi dengan kualitas-kualitas tersebut, yaitu yang (hampir) tidak bisa dihukum, tak bisa dikutuk, dan secara cerdas imun dari pertanggungjawaban tersebut. Justru korporasi dan kejahatan korporasi lah yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan, kehancuran sumber daya alam, dan pemanasan global.

Penyebab utama pemanasan global adalah keseluruhan sistem perekonomian dunia yang berlandaskan pada bahan bakar fosil. Daftar Fortune Global 500 tahun 2007 menunjukkan bahwa enam dari sepuluh korporasi terbesar di dunia adalah perusahaan pertambangan dan perminyakan. Mereka adalah Exxon Mobil, Chevron, Royal Dutch Shell, BP, ConocoPhillips, dan Total. Tiga sisanya adalah General Motors, Toyota Motor, dan DaimlerChrysler. Tiga yang terakhir ini adalah pilar utama sektor transportasi di dunia, yang menyumbangkan 14% dari keseluruhan emisi gas rumah kaca secara global (Stern Review, 2007). Jelaslah bahwa kekuasaan korporasi dan kejahatan korporasi telah menjadikan bumi sebagai korban. Selanjutnya, masyarakat adat dan masyarakat lokal yang memiliki relasi paling dekat dengan bumi lah yang menjadi korban yang pertama dan terutama dari korporasi, baik sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim, maupun secara langsung melalui hancurnya lingkungan dan sumber daya alam yang merupakan aset ekonomi dan sosial masyarakat adat/lokal tersebut.

Salah satu cara kerja korporasi adalah melalui tangan-tangan berbagai kebijakan pembangunan nasional dan global. Konsep pembangunan, sistem hukum, kebijakan, dan moda ekonomi yang diterapkan secara paksa, tanpa partisipasi aktif dan konsultasi dengan masyarakat adat/lokal sebagai pihak yang paling terkena dampak telah mendorong dan memfasilitasi penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan di nusantara ini. Sekali lagi, laju deforestasi di Indonesia telah mencapai 1,8 juta hektar per tahun (Forest Watch Indonesia, 2007). Sementara illegal fishing dan destructive fishing menyebabkan kerusakan masif di ekosistem pesisir dan laut Indonesia. Sedihnya, laju kerusakan lingkungan dan sumber daya alam tersebut berbarengan dengan pemiskinan masyarakat yang hidup di dalam kekayaan alam, dan lebih luas lagi pemiskinan bangsa Indonesia. Situasi terkini sosial ekonomi masyarakat tempatan dicirikan oleh trauma masal dari berbagai penderitaan, tak mewujudnya pengakuan atas hak-hak dasar, dan tidak lagi berfungsinya berbagai institusi sosial di dalam masyarakat. Demikianlah cengkeraman korporasi dalam perekonomian Indonesia.
Padahal koperasi, bukan korporasi, seharusnya sebagai sendi perekonomian Indonesia sebagai amanat Kosntitusi. Pasal 33 UUD 45 menyatakan bahwa (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Masa depan kejayaan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat adat/lokal utamanya akan tergantung pada kekuatan unit sosial di tingkat yang paling dekat dengan sumber daya alam: kelompok masyarakat dan masyarakat adat, sebagai manajer (pengelola) sumber daya alam. Di sini lah letaknya koperasi sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Meskipun koperasi telah mendapat stigma buruk berkat puluhan tahun proyek KUD (Koperasi Unit Desa yang kemudian menjadi Ketua Untung Duluan), belakangan di seluruh penjuru mulai muncul gebrakan-gebrakan baru dimana koperasi yang sesungguhnya, dalam arti yang sebenar-benarnya, ternyata bisa dibangun dan sukses. Salah satunya adalah berbagai Koperasi Kredit yang bergabung dalam Badan Kordinasi Koperasi Kredit (BK3D) Kalimantan. Hingga Maret 2007, jumlah anggota dari 48 Koperasi Kredit yang bergabung di BK3D telah mencapai 334.119 orang dengan total aset Rp 1.628.267.075.968 (Antara, 26 Juni 2007). Contoh lain adalah Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. KHJL yang saat ini beranggota sekitar 8,500 keluarga adalah yang pertama dan satu-satunya kelompok masyarakat di Asia Tenggara yang memperoleh pengakuan dan sertifikat internasional dari Forest Stewardship Council (FSC) untuk pengelolaan hutan yang lestari. Contoh yang lain lagi adalah Koperasi Sira Angen di Pulau Serangan, Denpasar, Bali yang telah bertahun-tahun melakukan pengelolaan kawasan pesisir, membudidayakan terumbu karang untuk pemulihan ekosistem maupun untuk perdagangan marine ornamental.

Koperasi-koperasi dan kelompok masyarakat tersebut, beserta berbagai contoh lain di seantero Indonesia, menunjukkan bahwa kawasan dan sumber daya alam mampu dikelola secara bermartabat oleh masyarakat setempat dengan mempertahankan fungsi ekologis dan sosialnya, dan terutama menjamin keamanan ekonomi masyarakat setempat tersebut. Meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam perdebatan global tentang perubahan iklim mestinya dimulai dengan meningkatkan posisi tawar masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai pemilik-pengurus-pengawas hutan dan laut yang menjadi penyerap karbon maupun korban pemanasan global.

Koperasi adalah jawaban paling relevan untuk menjawab tantangan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global. Sebab nilai-nilai koperasi: swadaya, swa-tanggung jawab, demokrasi, kesetaraan, keadilan dan solidaritas, lah yang menjadi harapan dan prasyarat kita untuk sebuah gerakan global penduduk bumi ini menghadapi perubahan iklim.

Kembali ke berita yang sama di Harian Kompas, Presiden SBY menyatakan bahwa “negara ini akan mendapatkan keuntungan yang konkret dalam kerjasama global, misalnya dalam bentuk fund (dana) ataupun transfer teknologi untuk mengelola dampak perubahan iklim. Kemudian, Presiden menegaskan posisi Indonesia yang moderat dan tidak konfrontatif. Apabila ada polemik mengenai hal ini, lanjutnya, Indonesia akan berusaha membangun jembatan”. Penulis berandai-andai bahwa bukan pernyataan itu yang disampaikan oleh Presiden Indonesia, akan tetapi, misalnya, ”Indonesia akan menjadi pelopor dalam upaya bersama menghadapi perubahan iklim, yaitu dengan memastikan demokrasi, kesetaraan, keadilan dan solidaritas di seluruh muka bumi, dan pertanggungjawaban yang sesungguhnya dari setiap korporasi dan negara-negara penyumbang emisi terbesar”, dan bahwa tanggung jawab Indonesia adalah ”memastikan bahwa hutan, tanah dan air akan menjadi rahmat bagi iklim dunia dengan pengelolaan yang lestari, berkelanjutan, dan menyejahterakan bangsa”.

Jangan kaget, “Incorporated” ternyata juga judul sebuah album oleh band The Legion of the Doom yang dirilis di tahun 2006. Jangan kaget pula bahwa track listing dalam album ini termasuk: I Know What You Buried Last Summer, The Quiet Screaming, Dangerous Business Since 1979, Stupid Kill, The Shooting Star That Destroyed Us, At Your Funeral, dan Hands Down Gandhi.

Penulis:
Ambrosius Ruwindrijarto, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Telapak (www.telapak.org), berkantor di Bogor

Alamat: Jl. Pajajaran 54, Bogor 16143 Tel. 0251-393245, Fax. 0251-393246, email: mbajing@telapak.org

1 comment:

Widhyanto said...

mantap bos. jangan kaget jika esbeye seperti itu. bicara tentang politik di negeri tropis ini bicara sekarang. sedangkan masa depan menurut Karl Popper 'if we (could) know the future, it wouldn't be the future'--climate change economic menghitung risiko dan uncertainty yang locus-nya di masa depan. perusahaan--korporasi--tidak demikian. jangan kaget kalo Tanri Abeng ikut-ikutan ngejiplak Japan Inc. dan esbeye ngejiplak pemikiran 'entah'. Tanri Abeng lebih jelas visinya, Ia dikenal sebagai manajer 1 Milyar dan sukses sesuai tempatnya--namun berbeda dengan maksud incorporated perusahaan/korporasi seperti Japan Inc. yang melakukan 'inkorporasi--pertubuhan sehingga bertubuh-embodied' untuk menggantikan 'imperialisme kuno' dengan 'politik dagang' baru yang sebenarnya sudah ditolak di tahun 1974 oleh Syahrir dkk. Walhasil esbeye jika paham politics of climate change ia tidak berdiam di waktu sekarang, selama waktu sekarang menjadi perhitungannya maka 'Indonesia Inc.- yang dimaksudkan memang sudah bertubuh dan beranak pinak dalam pikiran dan tindakannya, no future, no fun kata sex pistols. Maksud Johnny Rotten, kebahagian itu ada di masa depan, di risiko dan ketidakpastian. --let's green being the new red--