13 May 2008

Palu Harusnya Masuk Guinness World of Record

Thursday, May 08, 2008

Itu mauku. Setelah 5 kali pergi ke Palu sejak yang pertama dulu, tahun 1999. Kunjungan terakhir yang hampir sepuluh hari menegaskan kecurigaanku bahwa memang Palu harus didaftarkan ke dalam buku rekor dunia itu. Rekor apa? Rekor nongkrong… Menurut penelitianku, rata-rata orang Palu, khususnya para aktivis dan LSM nya, rata-rata nongkrong-ngobrol-ngopi selama 18,74 jam per hari. Angka ini jauh di atas angka rata-rata nasional, yang menurut BPS adalah 3,64 jam per hari, dan angka rata-rata dunia 0,32 jam per hari.Akibatnya bagi Kedai Telapak di Palu, yang baru saja dibuka, adalah harus punya banyak karyawan yang kuat melek. Paling cepat tutup kedai adalah jam 04.00. Agus Kedai, yang dikirim dari Bogor khusus untuk menyajikan kopi, yang menjadi pioneer di Kedai Telapak-Palu mengatakan, “Saya akan mengajak Serikat Pekerja Kedai Seluruh Indonesia (SPKSI) untuk berunjuk rasa meminta perbaikan fasilitas kerja. Kami minta para pengusaha Kedai menyediakan batang korek api dan selotip agar kami para pekerja Kedai bisa menyangga mata kami saat lewat tengah malam dan masih harus melayani para penongkrong-pengobrol-pengopi!”Kedai Telapak di Palu sendiri juga mungkin bisa masuk ke Buku Rekor Dunia itu. Yaitu untuk kecepatan buka usaha. Waktu pertama datang, Wisnu, Eki dan Agus F (d/h Agus Marxist) langsung bekerja seperti setan. Beli cat warna hijau yang terkenal itu. (Satu kaleng cat 5 kg yang dibawa wisnu dari bogor ternyata ditahan petugas pemeriksaan di Bandara Soekarno-Hatta. Nampaknya para petugas bandara sedang punya proyek pengecatan rumah masing-masing dengan berbagai macam warna cat sitaan dari para calon penumpang). Kemudian mengecat-mengecat-mengecat. Para seniman cat lokal di antara nya adalah Joko Gimbal, Farid Krempeng, Fahmi Dukun, Sumadi Direktur, DikDik Kopyah, dll. Terus panggil tukang kayu dan membuat meja bar dengan bahan lokal, kerapian lokal, dan kecepatan lokal. Persis 5 hari kemudian meja bar sudah selesai, beserta bangku panjang, kursi-kursi, meja-meja, dan neon sign. Ini mungkin juga baru pertama di dunia, neon sign dengan kerangka bahan dari kayu kamper.Jadi ternyata, Kedai Telapak di Palu adalah contoh co-investment: tabung gas dan sebagian piring-sendok adalah investasi Ibunya Wisnu, sebagian meja adalah investasinya Yayasan Rosontapura, istrinya Pak Sumadi menyediakan jajanan pasar dan berbagai ube rampe keperluan selamatan pembukaan, tenaga kerja adalah investasi dari banyak teman penongkrong-pengobrol-pengopi, wisnu menginvestasikan sebagian tabungannya untuk modal belanja, dan Telapak/PT PNU berinvestasi lain-lainnya. Rupanya model investasi ini juga dicontoh oleh rekan-rekan yang sedang bekerja bersama masyarakat nelayan dan membangun usaha perikanan di sana. Ferdie, Nael, Mas’ud dan Agus Faisal berhasil menggalang investasi dari Kakak Haji untuk modal usaha dan modal awal koperasi (kalau gak salah sampai Rp 50 juta), Pak Kepala Desa Pangalaseang mengalokasikan Rp 500 ribu untuk konsumsi dan akomodasi pertemuan-pertemuan dan pelatihan, dan Pak Tawakkal (Kepala Dinas Perikanan Kab. Donggala) berkomitmen menyumbangkan 2 buah ketinting dan satu buah kapal 15 ton, Yayasan Rosontapura sendiri sudah keluarkan sekitar Rp 15 juta untuk biaya-biaya transportasi dan akomodasi tim, juga untuk pembelian peralatan-peralatan pelatihan. Telapak dan PT PNU di Bogor sejauh ini hanya keluarkan dana untuk transportasi dari Bogor, Manado, dan Bali ke Palu.Mari dukung Palu untuk masuk Guinness World of Record! Tanpa bermaksud mencuri atau merampok, gambar di atas hanyalah untuk illustrasi saja, diambil aslinya dari sini
Posted by Perkumpulan Telapak at 11:00:00 AM
Labels: ,

No comments: